Potensi Pemakaian Magnesium pada Penderita Asma - Tradelenberg
pertama kali memperkenalkan bahwa magnesium mempunyai potensi sebagai
bronkodilator dan tahun 1912 telah dicobakan pada sapi. Beberapa
penelitian melaporkan pemberian magnesium pada manusia penderita asma
diharapkan dapat mengurangi gejala stridor dan dispnea. Penelitian
selanjutnya menyatakan bahwa menggunakan magnesium pada pasien asma
serangan ringan, sedang sampai berat dengan cara yang bervariasi dari
intravena sampai dengan nebulasi. Telah dilaporkan pula bahwa pertama
kali melaporkan kadar magnesium yang rendah di polimorfonuklear (PMN)
pasien asma dibandingkan dengan kontrol (Haryono et al. 2003). Selain
itu magnesium menyebabkan perubahan kapasitas volume paksa dan atau
volume ekspirasi paksa detik pertama (Bernstein et al. 1995). Studi
cross sectional memperlihatkan hubungan antara asupan rendah
magnesium dengan asma, dan pada pasien asma didapatkan kadar
magnesium intraselular rendah (Burney, 2000).
Magnesium
merupakan obat standar untuk preeklamasi dan dianjurkan juga untuk
berbagai masalah medis seperti aritmi jantung sampai migren. Pertama
kali digunakan untuk pengobatan asma tahun 1936 pada pasien rawat
inap dengan asma berat yang tidak responsif dengan pengobatan standar
masa itu seperti beladona (atropin) dan epinefrin (Silvermen, 2000).
Hipomagnesaemia pada penderita asma dan penderita asma kronik
berhubungan dengan peningkatan perawatan di rumah sakit; asupan
magnesium yang rendah mungkin berperan dalam etiologi asma serta
kejadian sekunder akibat penggunaan obat asma sendiri seperti agonis
beta, steroid dan xantin (Alamaodi, 2000). Beberapa penelitian
membuktikan bahwa pemberian MgSO4 secara intravena pada pasien asma
yang tidak memberikan respons adekuat terhadap agonis beta,
menghasilkan perbaikan bermakna (Scarfone et al. 2000) .
Pasien
dengan serangan asma akut sedang sampai berat yang tidak responsif
dengan pengobatan standar, membutuhkan tambahan pengobatan, seperti
magnesium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memberikan
magnesium peroral harian mendapatkan hasil tidak berbeda antara
subyek sehat dengan pasien asma (Picado et al. 2001). Penelitian lain
menyatakan bahwa ada hubungan kuat antara magnesium dengan fungsi
paru dan hiperresponsivitas saluran napas; pada tahun 2000 kembali
ditemukan hubungan positif antara asupan magnesium dan fungsi paru
(McKeever et al. 2002). Selanjutnya pemberian dosis 25
magnesium/kgbb. MgSO4 pada anak yang tidak responsif terhadap agonis
β2 dan menghasilkan perbaikan bermakna (Picado et al. 2001).
Studi
nutrisi cross sectional memperlihatkan hubungan antara asupan diet
magnesium dengan fungsi paru dan reaktivitas bronkus (Haryono et al.
2003). Pemberian MgO4 secara intravena pada pasien asma menyebabkan
bronkodilatasi (Fogarty and Britton, 2000). Magnesium bernomor atom
12 dan massa atom 24,32 Da merupakan kation ke empat terbanyak dalam
tubuh manusia dan ke dua terbanyak di cairan ekstraseluler. Magnesium
menyebabkan relaksasi sel otot polos, sedangkan hipomagnesaemia akan
menyebabkan kontraksi otot polos. Pemberian parenteral pada penderita
asma serangan akut menghasilkan bronkodilatasi (Burney, 2000).
Aktivasi
sistem simpatis oleh stimulasi sensoris atau emosi seperti nyeri,
lapar, rasa takut dan kemarahan meningkatkan ekskresi epinefrin dalam
urin; dalam keadaan geram/marah, agresif akan dilepaskan terutama
norepinefrin. Jantung juga mensintesis, menyimpan serta melepaskan
norepinefrin. Isolasi atau keributan, latihan yang berlebihan,
lingkungan yang dingin atau panas, bising, cahaya lampu, syok
listrik, stimuli karena ansietas termasuk frustrasi, mendengar hal
yang tidak menyenangkan akan menyebabkan peningkatan sekresi
katekolamin oleh medula adrenal, saraf dan ganglia (Okayama et al.
1987).
Berbagai
keadaan tersebut mempengaruhi terhadap kestabilan magnesium di dalam
tubuh. Hipomagnesaemia terjadi pada pasien dengan kadar katekolamin
darah yang tinggi; pemberian epinefrin pada sukarelawan dengan atau
tanpa penghambat Ca sebelumnya akan menghasilkan Mg dan K serum yang
rendah; pemberian epinefrin atau/dan terapi salbutamol menurunkan
kadar magnesium plasma pada subyek normal. Infus MgSO4 menghambat
lepasnya katekolamin pada stres intubasi trakea dan pada atlet
didapatkan kadar magnesium meningkat dalam sel darah merah. Pemberian
suplemen magnesium akan menurunkan ekskresi kortikosteroid. Aktivitas
glukokortikoid dan mineralokortikoid menyebabkan keseimbangan
magnesium negatif dan mempengaruhi penyerapan magnesium di usus halus
(Okayama et al. 1987).
Penggunaan
diuretik menyebabkan keluarnya magnesium melalui urin dan menipisnya
simpanan magnesium total dan regional tubuh (Seelig, 1994; Ralston et
al. 1989). Inhalasi histamin menurunkan kadar magnesium eritrosit,
sedangkan magnesium plasma tidak terpengaruh (kadar magnesium plasma
hanya 1%). Induksi histamin menurunkan kadar magnesium dan tidak
berhubungan dengan derajat hipereaktivitas bronkus. Peneliti lain
berasumsi ketika terjadi bronkokonstriksi selama uji provokasi
histamin, radikal bebas seperti hidrogen peroksida (H2O2
) dapat terlepas melalui direct action histamin terhadap reaksi
enzimatik dan sel inflamasi atau indirect action melalui aktivasi
C-fibres dan takikinin. H2O2 dapat melakukan
aksi indirect trigger terhadap eritrosit (penghancuran Na+/Mg2+
ATPase antiport) menyebabkan keluarnya magnesium (Zervast et
al. 2000; Zervast et al. 2003).
Asma
akut berhubungan dengan kadar magnesium eritrosit yang rendah,
sedangkan konsentrasi magnesium plasma tidak berubah. Ketika terjadi
bronkokonstriksi magnesium keluar dari ruang intrasel dan secara
alamiah mengatur calcium–channel blocker untuk selanjutnya
menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas (Zervast et al. 2003).
Mekanisme pasti bronkodilatasi yang diinduksi magnesium belum
diketahui (Noppen et al. 1990). Dalam sistem neuromuskular, magnesium
secara langsung bersifat depresan otot rangka.
Penambahan
magnesium akan menyebabkan penurunan lepasnya asetilkolin oleh impuls
saraf, menurunkan sensitivitas motor end-plate terhadap asetilkolin
serta menurunkan amplitudo potensial motor end-plate. Magnesium pada
fungsi neuromuskular bersifat antagonis terhadap Ca. Konsentrasi
magnesium yang rendah pada cairan ekstraselular menyebabkan
peningkatan asetilkolin dan meningkatkan perangsangan otot
menyebabkan tetani (Reinhart, 1988).