Cacing
tanah merupakan hewan tidak bertulang belakang (Invertebrata)
yang digolongkan ke dalam filum Annelida, ordo Oligochaeta, dan kelas
Chaetopoda yang hidup dalam tanah. Penggolongan ini didasarkan pada
bentuk morfologi karena tubuhnya tersusun atas segmen-segmen yang
berbentuk cincin (annulus), setiap segmen memiliki beberapa pasang
seta, yaitu struktur berbentuk rambut yang berguna untuk memegang
substrat dan bergerak (Edwards dan Lofty, 1977).
Anatomis
dan Morfologis
Secara
alamiah, morfologi dan anatomi cacing tanah berevolusi menyesuaikan
diri terhadap lingkungannya. Arlen (1994) menjelaskan bahwa cacing
tanah yang ditemukan hidup di tumpukan sampah dan tanah sekitarnya
mempunyai ukuran panjang sangat bervariasi, yaitu berkisar antara
beberapa milimeter sampai 15 cm atau lebih. Gambar morfologi cacing
tanah dapat dilihat di bawah ini :
|
Morfologi
cacing tanah
|
Secara
sistematik, cacing tanah bertubuh tanpa kerangka yang tersusun oleh
segmen-segmen fraksi luar dan fraksi dalam yang saling berhubungan
secara integral, diselaputi oleh epidermis berupa kutikula (kulit
kaku) berpigmen tipis dan seta, kecuali pada dua segmen pertama
(bagian mulut), bersifat hemaphrodit (berkelamin ganda) dengan
peranti kelamin seadanya pada segmen-segmen tertentu. Apabila dewasa,
bagian epidermis pada posisi tertentu akan membengkak membentuk
klitelium (tabung peranakan atau rahim), tempat mengeluarkan kokon
(selubung bulat) berisi telur dan ova (bakal telur). Setelah kawin
(kopulasi), telur akan berkembang di dalamnya dan apabila menetas
langsung serupa cacing dewasa. Tubuh dibedakan atas bagian anterior
dan posterior. Pada bagian anteriornya terdapat mulut, prostomium dan
beberapa segmen yang agak menebal membentuk klitelium .
Secara
struktural, cacing tanah mempunyai rongga besar coelomic yang
mengandung coelomycetes (pembuluh-pembuluh mikro), yang merupakan
sistem vaskuler tertutup. Saluran makanan berupa tabung anterior dan
posterior, kotoran dikeluarkan lewat anus atau peranti khusus yang
disebut nephridia. Respirasi (pernapasan) terjadi melalui kutikuler.
Ekologi
Cacing Tanah
Populasi
cacing tanah sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan dimana
cacing tanah itu berada. Lingkungan yang dimaksud disini adalah
kondisi-kondisi fisik, kimia, biotik dan makanan yang secara bersama-
sama dapat mempengaruhi populasi cacing tanah. Faktor-faktor ekologis
yang memengaruhi cacing tanah meliputi: (a) keasaman (pH), (b)
kelengasan, (c) temperatur, (d) aerasi dan CO2, (e) bahan
organik, (f) jenis, dan (g) suplai nutrisi.
Cacing
tanah umumnya memakan serasah daun dan juga materi tumbuhan lainnya
yang telah mati, kemudian dicerna dan dikeluarkan berupa kotoran.
Kemampuan hewan ini dalam mengonsumsi serasah sebagai makanannya
bergantung pada ketersediaan jenis serasah yang disukainya, disamping
itu juga ditentukan oleh kandungan karbon dan nitrogen serasah.
Cacing
tanah yang tersebar di seluruh dunia berjumlah sekitar 1.800 spesies.
Cacing tanah yang terdapat di Indonesia tergolong ke dalam famili
Enchytraeidae, Glassocolicidae, Lumbricidae, Moniligastridae,
Megascolicidae. Genus yang pernah ditemukan ialah Enchytraeus,
Fridericia, Drawida, Dichogaster, Eudichaster,Pontoscolex, Pheretima,
Megascolex, Perionyx dan Allolobophora. Dari hasil penelitian Sudarmi
(1999) diketahui tiga spesies cacing tanah yang karakteristik hidup
pada tumpukan sampah organik pasar yaitu spesies Megascolex sp,
Peryonix sp dan Drawida sp. Dari hasil penelitian Arlen, dkk (1994),
telah didapatkan tujuh spesies cacing tanah pada tempat pembuangan
akhir (TPA) sampah dan di timbunan sampah rumah tangga pada beberapa
kecamatan Kotamadya Medan, yaitu Megascolex sp1, Megascolex sp2,
Peryonix sp, Fridericia sp, Drawida sp, Pontoscolex corethrurus dan
Pheretima sp.
Megascolex
sp. lebih menyukai kondisi lingkungan dengan pH sedikit asam (<6),
kelembaban tanah berkisar antara 80-90% dan kadar organik tergolong
tinggi (>1%), sedangkan cacing tanah dari spesies Drawida sp lebih
menyukai kondisi lingkungan dengan pH netral (6-7), kelembaban tanah
berkisar antara 85- 95%, dan kadar organik tergolong cukup rendah
(>1%). Pontoscolex corethrurus lebih menyukai kondisi lingkungan
dengan pH sedikit asam (<6) dengan kadar organik tergolong cukup
tinggi.
Manfaat
Cacing Tanah
Telah
banyak bukti yang menunjukkan bahwa cacing tanah merupakan makrofauna
tanah yang berperan penting sebagai penyelaras dan keberlangsungan
ekosistem yang sehat, baik bagi biota tanah lainnya maupun bagi hewan
dan manusia. Aristoteles mengemukakan pentingnya cacing tanah dalam
mereklamasi tanah dan menyebutnya sebagai “usus bumi” (intestines
of the earth).
Cacing
tanah selama ini diketahui sebagai makhluk yang berguna untuk
menyuburkan tanah dan makanan ternak. Cacing tanah memiliki manfaat
yang sangat besar, seperti di Korea selatan dan Taiwan cacing telah
dikonsumsi oleh manusia untuk sumber protein hewani dan pengobatan
tradisional, yang sangat di kenal sebagai Negara yang banyak
mengekspor cacing tanah.
Kegunaan
cacing tanah sebagai penghancur gumpalan darah (fibrymolisis) telah
di uji kebenarannya oleh Fredericq dan Krunkenberg pada tahun 1920.
Selain itu, Mihara hisahi, peneliti asal Jepang, berhasil mengisolasi
enzim pelarut fibrin dalam cacing tanah yang bekerja sebagai enzim
proteolitik. Enzim tersebut kemudian dinamai lumbrokinase karena
berasal dari cacing lumbricus. Kemudian enzim tersebut diproduksi
secara komersial di Kanada sebagai obat stroke, mengobati penyumbatan
pembuluh darah jantung (ischemic) dan tekanan darah tinggi Di
Australia pun dilaporkan ada masyarakat yang melahap cacing tanah
mentah yang masih hidup karena dipercaya dapat menyegarkan badan .
Di
RRT, Korea, Vietnam, dan banyak tempat lain di Asia Tenggara, cacing
tahah terutama dari spesies Lumbricus sp, bisa digunakan sebagai obat
sejak ribuan tahun yang lalu. Hasil penelitian terhadap cacing tanah
menyebutkan bahwa senyawa aktifnya mampu melumpuhkan bakteri patogen,
khususnya Eschericia coli penyebab diare. Pengalaman nyata lain juga
menyebutkan cacing tanah bermanfaat untuk menyembuhkan rematik, batu
ginjal, dan cacar air. Di beberapa negara Asia dan Afrika, cacing
tanah yang telah dibersihkan dan dibelah kemudian dijemur hingga
kering, lazim dijadikan makanan obat (healing foods). Biasanya kering
disantap sebagai keripik cacing.
Gumilar
(1993) menyatakan bahwa di Jepang, Amerika Serikat dan Eropa, cacing
tanah selain diolah sebagai makanan, juga digunakan untuk pupuk
tanaman, bahan pembuat kosmetika serta obat-obatan. Misalnya di
Jepang cacing tanah dimanfaatkan untuk produksi antidote (penawar
racun) dan penurun demam.
Penelitian
lainnya dilakukan di Universitas Diponegoro dan Institut Teknologi
Bandung yang menguji sensitivitas Salmonella typhi terhadap ekstrak
cacing tanah secara in vitro. Hasil yang diperoleh menunjukkan
ekstrak cacing tanah spesies Lumbricus rubellus dan Pheretima sp
memberikan hasil yang efektif dalam menurunkan jumlah koloni
Salmonella typhi