Gaung
lingkungan di negara-negara maju sejak beberapa tahun terakhir
merasuki perusahaan besar. Berkaca dari pengalaman go green melakukan
“penghijauan” perusahaan, dan beberapa usaha yang dirintis di
Indonesia, barangkali bisa membuat banyak perusahaan tergerak
mengikuti jejek mereka.
Amatilah
beragam kertas yang dijual mulai dari tisu, kertas surat, sampai
kertas memo. Beberapa di antaranya menyebutkan kertasnya sebagai
hasil daur ulang. Hal yang sama, juga bisa dijumpai pada beberapa
produk lain seperti kaleng minuman, kosmetika, dan bahkan juga
sumpit. Intinya, produk itu bersahabat dengan lingkungan.
Gaya
hidup dunia saat ini, terutama di negara maju, memang didominasi isu
lingkungan. Setiap percakapan dan laporan media massa, banyak
dibumbui keterangan mengenai planet bumi yang rapuh dan terancam.
Tidak usahlah dirinci lebih lanjut, diskusi itu sekadar ikut-ikutan
atau benar-benar tahu. Tidak heran bila segala usaha kemudian mulai
dari pemberian dana, transaksi jual beli, sampai ke citra perusahaan,
selalu ditumpangi atribut lingkungan. Beberapa perusahaan di negara
maju yang sejak awal membawa bendera lingkungan, ternyata sukses
diserbu konsumen. Disadari atau tidak, tampaknya fenomena baru ini
menunjukkan semua yang berbau lingkungan akan menaikkan pula gengsi
konsumen maupun produsennya. Lingkungan sudah menjadi komiditi
ekonomi.
SEBUTLAH
Body Shop, suatu produsen yang sekaligus juga memiliki jaringan toko
kosmetika yang berpusat di Inggris tegas-tegas menyebutkan hanya
menggunakan bahan baku alami yang sama sekali tidak membahayakan
binatang, manusia, dan planet bumi, dengan memenfaatkan khasiat
segala jenis tumbuhan yang sudah dikenal manusia ribuan tahun.
Toko
kosmetika yang sudah tersebar pada lebih dari 37 negara sangat
dikenal dengan motonya yang tidak melakukan uji coba kosmetiknya pada
binatang. Di tengah riuhnya tekanan kelompok lingkungan pada
masyarakat Eropa yang anggotanya paling banyak memproduksi kosmetik
untuk menghentikan penyiksaan pada binatang dengan uji coba kosmetik,
Body Shop memang membawa angin segar.
Tentang
uji coba kosmetik pada binatang ini, kalau dilihat memeng mengerikan.
Mata- mata kelinci diolesi krim mata untuk melihat efeknya,
menyebabkan iritasi atau tidak. Bibir monyet diolesi lipstik dan
tikus bermandi parfum. Tidak heran bila di laboratorium kosmetik
banyak dijumpai binatang yang bermata dan berbibir bengkak, rontok
bulunya, atau tengah terkapar kesakitan gara-gara tubuhnya ditempeli
beragam kosmetik.
Di
Jerman, barang-barang yang berlabel blue angel juga diserbu pembeli.
Label yang hanya bisa diperoleh perusahaan dengan susah payah karena
pengujiannya yang ketat itu, menandakan priduk itu dibuat tanpa
merusak alam dan setelah digunakan juga tidak menambah timbunan
limbah di bumi. Pokoknya harus bersifat 3R, reduce, reuse, recycle
atau mengurangi bahan baku, bisa digunakan kembali, dan bisa didaur
ulang.
Semboyan
3R ini pula yang kini banyak diterapkan di berbagai perusahaan di
Amerika Serikat. Fenomena perusahaan go green di AS ini, bahkan
pernah diberi peringkat secara khusus oleh majalah Fortune yang
mengklasifikasi 10 perusahaan dalam kategori terbaik, 10 lainnya
mengalami kemajuan paling pesat, dan 10 lainnya sebagai paling buruk.
Beberapa
perusahaan bermarkas di Amerika. Sejak memproklamirkan dirinya
sebagai perusahaan “hijau” semua bahan baku yang menggunakan CFC
ditinggalkan. Bahan kimia singkatan dari chlorofluorocarbon ini
merupakan perusak ozon terbesar saat ini. Produk-produknya berupa
kertas memo kuning kecil-kecil berperekat, juga dibuat dari kertas
daur ulang dan tidak menggunakan chlorine yang sangat mencemari air.
Perusahaan kimia Dow Chermical di AS dan termasuk 10 terbaik versi
Fortune, memperbaiki sistem pengelolaan lateks dan salah satu
pabriknya dengan cara mengubah pipa-pipa dan peralatan produksinya.
Hasilnya, perusahaan ini berhasil mengurangi limbahnya hingga 60 %
dan hemat biaya 325.000 dollar AS pertahun.
Namun
yang menarik, perusahaan-perusahaan yang menyatakan dirinya go green
ini ternyata tidak sekedar menjual “lingkungan”. Selain ke luar
membantu segala kegiatan yang berbau lingkungan, seperti Green peace
dan aktif mendukung urusan humaniora seperti Amnesti Internasional
yang memang tidak lepas dari citra perusahaan, ternyata ke dalampun
mereka dodrong para karyawannya cinta lingkungan.
Perusahaan
Telekomunikasi AT&T, menerapkan program Total Quality Management
(TQM). Tugas pertama tim TQM adalah mengendalikan limbah kantor yang
paling universal, kertas. Maka yang dilakukan adalah kampanye
besar-besaran untuk tidak menggunakan kertas untuk surat menyurat dan
mengganti dengan pesan elektronik lewat komputer(internet). Ternyata
konsumsi kertas bisa dihemat 22 %. Ini juga dilakukan devisi jarak
jauh. Ketika proses mengirim dan menerima surat sebanyak mungkin
dialihkan pada media internet dan bisa juga pakai modem hasilnya
sekitar 6 juta lembar kertas dihemat per tahun. Total penghematan
dari program TQM ini adalah sekitar 5,5 juta dollar AS pertahun.
Di
Body Shop, selain penghematan kertas dan melarang penggunaan piring
dan gelas styrofoam di kantin, para karyawannya disarankan naik
sepeda. Mereka mendapat kredit dari kantor dan dengan harga khusus
pula untuk membeli sepeda. Untuk itu, Body Shop bekerja sama dengan
industri sepeda bergengsi Raleigh. Untuk pekerjaan ke luar yang
membutuhkan mobil, para karyawan bisa menggunakan mobil kantor.
Perlindungan gajah, badak, paus, dan penyu hijau bahkan masuk agenda
Body Shop.
Merekalah
yang secara aktif yang mengkampanyekan perlunya perlindungan bagi
binatang-binatang yang terancam punah itu, selain juga menjadi
penyandang dananya. Terutama paus dan penyu, ironisnya memang dibunuh
untuk digunakan sebagai bahan baku kecantikan. Sesuai dengan
komitmen, maka minyak paus dan bulus ini diganti dengan bahan baku
sintetis pada produk Body Shop.
Sayangnya
fenomena ini gaungnya belum begitu kencang di Indonesia. Betul
beberapa perusahaan memiliki pengolah limbah sesuai dengan
rekomendasi AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan) terutama yang
ikut program kali bersih , tetapi ini hanya beberapa, itupun kalau
kita mau jujur, lebih banyak karena tekanan pemerintah.
Perusahaan
air kemasan Aqua misalnya, mulai melakukan program daur ulang untuk
botol ukuran 600 ml dan 1500 ml. Sayangnya, program ini masih
terbatas pada toko- toko tertentu sebagai tempat penukaran
botol-botol bekas. Masayarakat pun tidak banyak tahu.
Program
go green yang sama, juga pernah digaungkan di Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI, tahun 2001 – 2004 melalui Direktorat jenderal
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan yaitu proyek
Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH), dengan kegiatan
Training Of Trainer (TOT) Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan
Hidup yang diikuti oleh guru-guru SD, SMP, SMA dan SMK , seluruh
Indonesia termasuk Widyaiswara dari Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP) seluruh Indonesia yang materinya antara lain
penghematan sumber daya, kepedulian lingkungan, pemeliharaan
lingkungan (sekolah hijau), dan program 3R. Demikian juga di Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (P4TK IPA) Bandung melalui Proyek Pendidikan
Lingkungan Hidup (PLH) untuk para Widyaiswara LPMP dan pengimbasan ke
sekolah- sekolah, khusus guru-guru SD dan TK dengan materi yang sama.
Kegiatan ini dimaksudkan agar guru-guru yang mengajar di sekolah agar
mengintegrasikan mata pelajaran yang diajarkan dengan lingkungan
hidup. Tapi beberapa tahun terakhir ini tidak terdengar lagi
gaungnya, seperti itu adanya karena kegiatan ini lepas sama sekali
karena tidak ada pemantauan.
Usaha
mengkampanyekan go green tentu tidak gampang karena harus dimulai
dari diri sendiri bersama keluarga dan lingkungan terdekat. Tetapi
dengan komitmen dan kerja sama antar komunitas (karyawan/masyarakat),
dan tentu saja pemerintah, tidak ada yang mustahil dikerjakan. Jadi
kenapa tidak dicoba (lagi ? ).