1.
Klasifikasi Gagal Jantung
Berikut
ini merupakan Staging gagal jantung menurut ACC/AHA (staging gagal
jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung):
Stage A : Resiko besar gagal jantung, tidak teridentifikasi
abnormalitas struktural dan fungsional, tidak ada gejala dan tanda
gagal jantung.
Stage B : Berkembangnya penyakit struktural jantung yang berhubungan
erat dengan timbulnya gagal jantung, tapi tidak terdapat gejala dan
tanda- tanda gagal jantung.
Stage C : Gejala gagal jantung berhubungan dengan perubahan
strukural jantung
Stage D : Terdapat kelainan struktural yang berat dan terdapat
gejala gagal jantung pada saat beristirahat.
Berikut
ini merupakan Staging gagal jantung berdasarkan NYHA (severitas
gejala gagal jantung berdasarkan aktivitas fisik):
Kelas 1 : Tidak ada batasan saat melakukan aktivitas fisik. Kegiatan
fisik normal tidak menimbulkan fatig, palpitasi dan dispnea.
Kelas 2 : Sedikit limitasi pada aktivitas fisik. Timbul gejala
seperti fatig, palpitasi dan dispnea ringan saat aktivitas fisik
normal. Gejala hilang saat beristirahat.
Kelas 3 : Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik yang
lebih ringan dari biasanya sudah menimbulkan gejala, namun gejala
hilang saat beristirahat.
Kelas 4 : Gejala-gejala sudah ada sewaktu beristirahat, dan
aktivitas fisik yang ringan akan memperberat gejala.
2.
Patofisiologi Gagal Jantung
Bila
terjadi gangguan kontraktilitas miokard primer atau beban hemodinamik
berlebihan diberikan pada ventrikel normal, jantung akan mengadakan
sejumlah mikanisme adaptasi untuk mempertahankan curah jantung dan
tekanan darah.
Beberapa
mekanisme adaptif tersebut antara lain sekresi neurohormonal,
aktivasi sistem renin angiotensin, aktivasi sistem saraf simpatik.
Peptida natriuretik, ADH dan endothelin, makanisme frank starling,
dan hipertropi miokard. Tiap mekanisme kompensasi jatung berikut
memberikan manfaat hemodinamik segera, namun dengan konsekuensi yang
merugikan dalam jangka panjang, yang akan berperan dalam perkembangan
menjadi gagal jantung kronis. Misalnya, hipertrofi miokard akan
meningkatkan massa elemen kontraktil dan memperbaiki kontraksi
sistolik namun akan meningkatkan kekakuan dinding ventikel dan fungsi
diastolik.
Aktivasi
sistem saraf simpatis pada gagal jantung, melalui stimulasi
baroreseptor, dapat mengingkatkan kecepatan detak jantung,
vasokonstriksi pembuluh darah akibat perangsangan reseptor alfa dan
menghasilkan peningkatan kontraktilitas miokard pada awalnya. Refleks
simpatis bekerja maksimal dalam jangka waktu 30 detik. Peningkatan
kecepatan detak jantung dan kontraktilitas secara langsung
meningkatan curah jantung. Vasokonstriksi vaskular mangakibatkan
peningkatan aliran balik darah ke jantung, sehingga meningkatkan
beban awal dan meningkatkan stroke volume melalui mekanisme frank
starling. Konstriksi arteriol pada gagal jantung meningkatkan
tahananan pembuluh perifer sehingga membantu memelihara tekanan
darah. Adanya distribusi regional reseptor-reseptor alfa sedemikian
rupa menyebabkan aliran darah diredistribusikan ke alat-alat vital
(jantung dan otak) dan dikurangi ke organ-organ perifer seperti
kulit, organ-organ splanknik dan ginjal. Namun pada aktivasi sistem
RAA dan neurohormonal berikutnya menyebabkan peningkatan tonus vena
(preload jantung) dan arteri (afterload jantung), meningkatkan
norepinefrin plasma, retensi progresif natrium dan air.
Penurunan
perfusi dari jantung akan menyebabkan stimulasi sistem renin
angiotensin aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar
renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan
vasokonstriktor kuat pada arteriol eferen ginjal yang menstimulasi
pelepasan norepenefrin dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus
vagal dan membatu pelepasan aldosteron dari adrenal, sehingga dapat
menyebabkan retensi natrium dan air di dalam tubuh.
Ginjal
mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon
glomerulus underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon
dari sistem saraf simpatetik. ACE (Angiotensin Converting Enzyme)
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah.
Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh
hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin
I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida
yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan
tekanan darah karena bersifat sebagai vasokonstriktor melalui dua
jalur, yaitu:
Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan
ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler.
Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan
darah.
Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah.
Penurunan
curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh baroreseptor yang
berada sinus karotis dan arkus aorta sebagai suatu penurunan perfusi.
Reseptor- reseptor ini lalu menguragi laju pelepasan rangsang
sebanding dengan penurunan tekanan darah. Sinyal tersebut akan
dihantarkan melalui saraf kranial IX dan X ke pusat pengendalian
kardiovaskuler di medula oblongata.
Perptida
natriuretik memiliki berbagai efek pada jantung, ginjal dan sistem
saraf pusat. Beberapa jenis peptida natriuretik seperti peptida
natriuretik atrial (Atrial Natriuretic Peptide/ANP) dilepaskan
jantung sebagai respon peregangan, menyebabkan natriuresis dan
dilatasi. Selain itu juga akan dilepaskan peptida natriuretik otak
(brain natriuretic peptide/BNP) juga dilepaskan dari ventrikel jantug
dengan kerja yang serupa dengan ANP. Peptida natriuretik bekerja
sebagai antagonis fisiologis terhadap efek angiotensin II, sekresi
aldosteron dan reabsorbsi natrium ginjal.
Endothelin
merupakan peptida vasokonstriktor poten yang disekresikan oleh sel
endothelial vaskular yang membantu retensi natrium di ginjal.
Konstriksi vena sistemik dan retensi natrium kan meningkatkan tekanan
serta volume akhir diastolik ventrikel, pemanjangan sarkomer dan
kontraksi miofibril diperkuat (makanisme Frank Starling).
Retensi
cairan oleh ginjal dan peningkatan volume darah terjadi selama
beberapa jam atau hari. Normalnya ginjal menerima suplai darah
sebanyak 1100 ml/menit atau sekitar 20 – 25% dari curah jantung.
Tujuan utama dari tingginya aliran darah ke ginjal adalah untuk
menyediakan cukup plasma untuk mengimbangi laju filtrasi glomerulus
yang tinggi yang dibutuhkan untuk pengaturan volume cairan tubuh dan
konsentrasi suatu zat terlarut secara efektif. Oleh karena itu
penurunan darah ke ginjal akan menurunkan GRF (Glomerular Filtration
Rate). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya oligouria, yang berarti
menurunnya keluaran urin dibawah tingkat asupan air dan zat terlarut.
Jika aliran darah ginjal sangat menurun, dapat terjadi penghentian
total keluaran urin, yang disebut anuria.
Ginjal
dapat mengkompensasi kekurangan aliran darah ginjal pada keadaan
aliran darah ginjal sekitar 20-25% keadaan normal. Ketika aliran
darah ginjal menurun, maka GFR dan jumlah natrium klorida yang
difiltrasi oleh glomerulus akan ikut menurun termasuk penurunan
filtrasi BUN.